Kamis, 21 November 2013
Rabu, 20 November 2013
Pengalaman mengamalkan surah Ar-Rahman ayat 26 #justshare :)
Surat Ar-Rahman ayat 26 memberi saya banyak pelajaran. Saya membaca ayat tersebut setelah selesai mendirikan sholat subuh. Sesuai dengan arti dari ayat ini yang berbunyi “Semua yang ada di bumi itu akan binasa”, Surat ini memiliki makna bahwa bumi tidaklah kekal dan manusia tidak selamanya hidup di bumi. Suatu saat nanti ada waktu dimana setiap manusia sebagai hamba-Nya akan dipanggil oleh Allah SWT dan dimintai pertanggungjawabannya. Setelah membaca dan memaknai arti dari ayat tersebut, saya merasakan manfaat yang begitu besar dalam kehidupan saya dan dalam meningkatkan kualitas keimanan saya.
Saya menyadari begitu besarnya Allah SWT menciptakan bumi beserta seluruh isinya. Berbagai spesies hewan dan beraneka ragam tumbuhan serta keindahan alam seperti gunung, lautan, sungai, bukit, lembah, dan samudera merupakan beberapa ciptaanya yang ada di muka bumi ini. Semua itu diciptakan-Nya untuk kehidupan manusia yang juga merupakan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Namun semua itu tidaklah kekal dan akan binasa pada waktunya. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Rahman ayat 26 yang telah disebutkan di atas. Maka dari itu saya selalu meningkatkan kualitas ibadah saya karena menyadari bahwa saya akan dipanggil oleh-Nya, akan ada waktu dimana saya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak dan akan ada hari perhitungan dimana surga dan neraka adalah balasan untuk amalan dari setiap manusia.
Manfaat yang didapat dari ayat ini yaitu saya merasa lebih giat untuk menjalankan sholat lima waktu pada awal waktu, menjalankan sholat sunnah, memperbanyak beramal jariyyah, lebih menghormati dan membantu orang tua, menolong teman jika ia dalam kesulitan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela di masa lalu. Berbagai perbuatan itu saya lakukan sebagai bentuk pengamalan saya terhadap surat Ar-Rahman ayat 26.
Teori Konflik (Karl Marx)
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Asumsi Dasar
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
Teori Fungsionalisme (Durkheim)
Fungsionalisme menurut Emile Durkheim dapat disimpulkan bahwasanya masyarakat terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Maka organ-organ tersebut mempunyai fungsi tersendiri terhadap kinerja yang akan mereka lakukan. Dengan adanya fungsi tersebut maka akan terbentuklah masyarakat yang "normal" tidak "patologis
Teori Konstruktivisme (WEBER)
TEORI KONSTRUKTIVISME Weber
Dalam dinamika kajian sosiologi salah satunya adalah paradigma definisi sosial. Paradigma ini fokus pada salah satu aspek yang sangat khusus dari karya Weber, yakni dalam analisanya tentang tindakan sosial (social action). Konsep Weber tentang fakta sosial sangat berbeda dengan konsep Durkheim, dimana Durkheim membagi struktur masyarakat menjadi tiga kelas yang posisinya tidak bisa diubah dan tidak bisa bergeser. Sedangkan menurut Weber dalam konsepnya ini tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dengan pranata sosial. Struktur sosial dan pranata sosial keduanya membantu untuk membentuk tindakan sosial manusia yang penuh arti dan berpengaruh pada perkembangan kualiatas manusia itu sendiri.
Kajian pokok dalam paradigm definisi sosial ini adalah teori konstruktivisme menurut Weber, yang menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan sosial, tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding). Dengan demikian paradigma ini sangat menekankan arti subjektif dari tindakan sosial. Yang mana paradigma ini memusatkan perhataiannya kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Menurut paradigma ini pokok persoalan dalam sosiologi adalah tingkah laku individu. Paradigma ini juga menekankan pendekatan objektif empiris terhadap kenyataan sosial, karena data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku-perilaku individu-individu yang nyata.
Konstruktivisme berfokus pada kekuatan ide yang menjadi kesepakatan bersama. Asumsi dasarnya adalah bahwa ide membentuk realitas. Karena itu realitas bukan hal yang bersifat objektif dan terpisah dari pengamat. Maka dari itu realitas sosial adalah sebuah konstruksi sosial yang intersubjektif. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membagi tindakan sosial menjadi empat tipe, yaitu:
1. Traditional Action,
yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu, bisa dikatakan tindakan yang sudah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang.
2. Instrumental Action
yaitu tidakan yang dilakukan berdasarkan tujuan, namun dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sulit untuk dibedakan. Tetapi tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya menentukan tujuan yang diinginkan.
3. Emosional Action
yaitu tindakan yang dibuat-buat yang biasanya dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan seseorang. Tindakan ini sukar dipahami dan sering kali kurang rasional.
4. Econimic Rational ( murni rasional)
Yaitu tindakan sosial murni, dalam tindakan ini seseorang tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya, tetapi juga menentukan nilai dari tujuannya sendiri. Tujuan dalam tindakan ini tidak absolut, ia dapat cara dari tujuan yang lain selanjutnya. Jika seseorang berperilaku dengan cara yang paling rasional, maka mudah untuk memahami tindakannya.
Terjadi perbedaan antara Rasionalis dan Konstruktivis dalam memandang sebuah fenomena. Rasionalis memandang fenomena melalui logika konsekuensi. Seorang actor akan mempertimbangkan untung rugi dalam mengambil sebuah tindakan atau beraksi atas lingkungan. Sedangkan Konstruktivis akan memandang sebuah fenomena dengan logika kelayakan. Seorang actor akan bertindak sesuai dengan konstruksi sosial yang membentuk identitas mereka. Hal ini menimbulkan kerancuan apabila identitas itu mengendalikan logika konsekuen seorang actor. Karena pada dasarnya kedua logika di atas dapat berlangsung secara sekaligus.
Tindakan –tindakan soaial individu membentuk bangunan struktur yang terus berkembang menjadi suatu otoritas yang memperoleh legitimasi terhadap tindakan sosial tersebut.
Selasa, 19 November 2013
Langganan:
Postingan (Atom)